Aliran-aliran sosiologi hukum

RESUME aliran-aliran yang mendorong tumbuh dan kembangnya sosiologi hukum
A. Aliran Mazhab sejarah dengan tokoh Carl Von Savigny
Konsep aliran filsafat hukumnya disebut dengan Hukum Historis . Pada pendapatnya tentang aliran filsafat hukum, menurutnya hukum itu tidak dibuat, namun tumbuh dan berkembang bersama-sama masyarakat, Hukum juga merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat, berkembangnya hukum dari status menjadi  control, yang kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat sederhana ke masyarakat modern.  Tentang aliran hukum dapat dilihat di dalam pendapatnya dalam bahasa jerman yaitu “Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:


"Hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat)
Mazhab sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan salah satu aliran pemikiran Hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny dengan inti ajaran mazhab ini adalah das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke (hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Penganut madzhab sejarah fokusnya mengarah pada bangsa, tepatnya jiwa bengsa (Volksgeist.
Ada dua pendapat yang menyatakan tentang kelahiran mazhab ini, bahwa mazhab ini lahir sekitar awal abad ke-19. Ada juga yang mengatakan bahwa mazhab ini lahir sekitar abad ke-18 Menurut penulis, bahwa kelahiran mazhab ini lebih tepat pada awal abad ke-19, sebab pelopor dari mazhab ini yang dikenal adalah Friedrich Carl von Savigny hidup pada tahun 1770-1861, begitu juga pelopor lainnya Puchta yang hidup pada tahun 1798-1846, dan Henry Sumner Maine hidup pada tahun 1822-1888. Sekalipun Friedrich Carl von Savigny lahir tahun 1770, namun kecil kemungkinan jika gagasan itu dimunculkan ketika berusia muda. Selain itu dalam buku Satjipto Rahardjo dikatakan bahwa dampak pemikiran hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta, terhadap perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat. Buktinya tantangan Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata. Dan baru pada tahun 1900 negeri Jerman mendapatkan kitab undang-undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch Dengan demikian satu abad dari 1900 (lahirnya Burgerliches Gesetzbuch) adalah awal abad ke-19.
Setiap aliran Hukum yang ada menyatakan pemikiran-pemikiran tentang hukum, yang pada hakikatnya lahir sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dan dipengaruhi oleh beberapa factor. Begitupun kelahiran mazhab sejarah dipengaruhi oleh beberapa factor yang dinilai sebagai penyebab. Berikut ini beberapa pendapat yang terhimpun:
1.    Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum hukum, terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan, dan kondisi nasional.
2.    Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi cosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya), yaitu seruannya ke segala penjuru dunia. 
3.    Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code Civil dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu system hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni. 
4.    Pengaruh Montesqueu dalam bukunya L’esprit de Lois yang telah terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antar jiwa suatu bangsa dengan hukumnya, dan pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke-19. Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari L'esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya. Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi perbandingan mengenai undang-undang dan pemerintahan. Gagasan Montesquieu tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Ketika Montesquieu membahas penyebab suatu negara mempunyai perangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu, dikatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh 2 faktor penyebab utama yang membentuk watak masyarakat yaitu faktor fisik dan faktor moral. Montesque melihat adanya dua kekuatan yang bekerja dalam individu secara biologis; kekuatan egoistis yang mendorong manusia untuk menuntut hak-haknya, dan kekuatan moral yang membuatnya sebagai anggota dari kelompok sosial yang terikat pada berbagai kewajiban disamping adanya hak-hak. 
5.    Masalah kodifikasi hukum Jerman setelah berakhirnya masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut (1872-1840), guru besar pada Universitas Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit pada tahun 1814, yang berjudul Uber Die Notwendigkeiteines allegemeinen Burgerlichen Recht For Deutchland (tentang keharusan suatu hukum perdata bagi Jerman). Karena dipengaruhi oleh keinginannya akan suatu Negara, ia menyatakan keberatan terhadap hukum yang tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk diselidiki, sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga hilanglah seluruh gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas dengan jalan penyusunan undang-undang dalm kitab. Hal ini merupakan kebanggan Jerman. Keberatan yang dikemukakan ialah bahwa diberbagai daerah hukum itu harus disesuaikan dengan keadaan setempat yang khas dan bahwa orang harus menghormati apa yang dijadikan adat, tidak dapat mengimbangi keuntungan yang dibawa olehnya. Sudah saatnya melaksanakan sesuatu yang luar biasa yang mungkin direalisasikan. Ahli hukum perdata jerman ini mengehendaki agar di Jerman diberlakukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Prancis (Code Napoleon). Seperti diketahui, setelah Prancis meninggalkan Jerman Timbul masalah, hukum apa yang hendak diberlakukan di Negara ini. Juga merupakan suatu reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif. 
6.    Abad ke-18 adalah abad universalisme dalam berpikir. Cara pandang inilah yang menjadi salah satu  penyebab munculnya madzhab sejarah yang menentang universalisme. 
7.    Menurut Friedmann Aliran ini juga Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.


 

B. Aliran utility dengan tokoh Jeremy Bentham dan Rudolph von Jhering
Menurutnya, hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat guna mencapai hidup bahagia. Manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan dan pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga-warga masyarakat secara individual. Kedua yang mengikuti aliran utility adalah  Rudolph von Ihering. Konsep aliran filsafat hukum menurutnya disebut dengan social utilitarianism. Tujuan hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam mencapai tujuan tertentu, maka akan ada tahap pengejaran kebahagiaan yang akhirnya dapat membuat sumber kebahagiaan.
Teori utilitarianisme yang digagas oleh Jeremy Bentham (juga John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering) adalah bentuk reaksi terhadap konsepsi hukum alam pada abad ke delapan belas dan sembilan belas. Bentham mengecam konsepsi hukum alam, karena menganggap bahwa hukum alam tidak kabur dan tidak tetap. Bentham mengetengahkan gerakan periodikal dari yang abstrak, idealis, dan apriori sampai kepada yang konkret, materialis, dan mendasar.
Menurut Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Jadi, konsepnya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Ukurannya adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum ini sangat tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak. Kemanfaatan diartikan sama sebagai kebahagiaan (happiness).
Jeremy Bentham dilahirkan di London tahun 1748. Ia hidup selama masa perubahan sosial, politik dan ekonomi yang masif, juga mengikuti terjadinya revolusi di Perancis dan Amerika yang membuat Bentham bangkit dengan teorinya. Ia banyak diilhami oleh David Hume dengan ajarannya bahwa sesuatu yang berguna akan memberikan kebahagiaan. Menurut Bentham hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan.
Prinsip-prinsip dasar ajaran Bentham dapat dijelaskan sebagai berikut. Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, barulah kepada orang banyak. ”the greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari sebanyak-banyaknya orang). Prinsip ini harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka perundang-undangan harus mencapai empat tujuan: (1) to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup); (2) to Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah); (3) to provide security (untuk memberikan perlindungan); dan (4) to attain equity (untuk mencapai persamaan).
Undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Lebih lanjut Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Ajaran Bentham yang sifat individualis ini tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, agar kepentingan idividu yang satu dengan individu yang lain tidak bertabrakan maka harus dibatasi tidak terjadi homo homini lupus. Menurut Bentham agar tiap-tiap individu memiliki sikap simpati kepada individu lainnya sehingga akan tercipta kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat akan terwujud. Bentham menyebutkan“The aim of law is the greatest happines for the greatest number” 
Beberapa pemikiran penting Bentham juga dapat ditunjukkan, seperti:
a. Hedonisme kuantitatif yakni paham yang dianut orang-orang yang mencari kesenangan semata-mata secara kuantitatif. Kesenangan bersifat jasmaniah dan berdasarkan penginderaan.
b. Summun bonum yang bersifat materialistik berarti bahwa kesenangan-kesenangan bersifat fisik dan tidak mengakui kesenangan spritual dan menganggapnya sebagai kesenangan palsu.
c. Kalkulus hedonistik (hedonistik calculus) bahwa kesenangan dapat diukur atau dinilai dengan tujuan untuk mempermudah pilihan yang tepat antara kesenangan-kesenangan yang saling bersaing. Seseorang dapat memilih kesenangan dengan jalan menggunakan kalkulus hedonistik sebagai dasar keputusannya. Adapun kriteria kalkulus yakni: intensitas dan tingkat kekuatan kesenangan, lamanya berjalan kesenangan itu, kepastian dan ketidakpastian yang merupakan jaminan kesenangan, keakraban dan jauh dekatnya kesenangan dengan waktu,kemungkinan kesenangan akan mengakibatkan adanya kesenangan tambahan berikutnya kemurnian tentang tidak adanya unsur-unsur yang menyakitkan, dan kemungkinan berbagi kesenangan dengan orang lain. Untuk itu ada sanksi yang harus dan akan diterapkan untuk menjamin agar orang tidak melampaui batas dalam mencapai kesenangan yaitu: sanksi fisik, sanksi politik, sanksi moral atau sanksi umum, dan sanksi agama atau sanksi kerohanian.

C. Aliran sociological jurisprudence dengan tokoh Eugen Ehrlich
hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat atau living law . Hal ini dikarenakan hukum tunduk pada ketentuan sosial tertentu. Aliran ini juga didukung oleh dengan tokoh Roscoe Pound. Menurutnya, Filsafat hukum didefinisikan dalam law as a tool of social engineering. Artinya bahwa hukum pada hakikatnya merupakan rekayasa sosial, yang tidak hanya pada kepentingan rakyat, tetapi juga ditegakan dan dibentuk dalam upaya sosial kontrol di Aliran Sociological jurisprudence adalah aliran Hukum yang menilai bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dimasyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) madzhab sejarah. 
Sebagaimana diketahui, positivisme dalam hukum memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgiver), sebaliknya madzhab sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman, dan sociological jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya. 
Aliran sociological jurisprudence muncul di Benua Eropa yang dipelopori ahli Hukum asal Austria bernama Eugen Ehrlich (1826-1922), dan berkembang di Amerika dengan pelopor Roscoe Pound. 
Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton kurang tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut sociological jurisprudence ini dengan Functional Anthropological. Dengan menggunakan istilah “metode fungsional” seperti diungkapkan diatas, Paton ingin menghindari kerancuan antara sociological jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociology of law). 
Menurut Lily Rasjidi, perbedaan antara sociological jurisprudence dan sosiologi hukum adalah sebagai berikut:
1.    Sociological jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi
2.    Walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda.
3.    Sociological jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarkat, sedangkan sosiologi hukum memilih pendekatan dari masyarakat ke hukum. 
Roscoe Pound menyatakan perbedaannya adalah bahwa sociological jurisprudence merupakan teori Hukum yang mempelajari pengaruh Hukum di masyarakat dengan pendekatan dari Hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi dengan titik tolak pendekatannya dari masyarakat ke Hukum. 
Suatu permasalahan  hukum  dalam masyarakat  dapat  dari  dilihat  dengan  dua  titik-tolak  yang berbeda.  Jika  titik-tolak  yang  digunakan  adalah  ilmu  hukum,  maka  yang  digunakan sebagai alat menganalisis adalah ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence), dan sosiologi menjadi  ilmu-bantu. Hukum di sini diartikan sebagai kaidah. Tetapi  jika  titik-tolak yang digunakan adalah sosiologi, maka digunakanlah sosiologi hukum (sociology of law),  dan  ilmu  hukum menjadi  ilmu  bantu. Hukum  diartikan  sebagai  sikap-tindak  ajeg atau  perikelakuan  yang  teratur. 
Tokoh-tokoh aliran sociological jurisprudence antara lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound. 
1.    Eugen Ehrlich (1862-1922)
Eugen Ehrlich dapat dianggap sebagai pelopor aliran sociological jurisprudence, khususnya di Eropa. Ia adalah seorang ahli hukum dari Austria yang meninjau hukum dari sudut sosiologi.  Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Di sini jelas bahwa Ehrlich berbeda pendapat dengan penganut positivism hukum. 
Menurut Friedmann, Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya, bahwa titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri. Dengan demikian sumber dan bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan. Tetapi sayangnya, pada akhirnya justru meragukan posisi kebiasaan ini sebagai sumber dan bentuk hukum pada masyarakat modern. Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan social tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif, olehkarena keterlibatan dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan social terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh Negara.  Sampai disini terlihat bahwa pendapat Ehrlich mirip dengan Von Savigny. Hanya saja, Ehrlich lebih senang menggunakan istilah kenyataan social dari pada istilah Volkgeist sebagaimana yang digunakan Savigny.
Friedmann membentangkan tiga kelemahan utama pemikiran Ehrlich karena keinginannya meremehkan fungsi Negara dalam pembentukan undang-undang:
1.    Kurang jelas tentang criteria pembeda antara norma hukum dengan norma social yang lain
2.    Meragukan posisi kebiasaan, pada masyarakat modern sebagai sumber hukum dan sebagai suatu bentuk Hukum yang tergantikan oleh undang-undang.
3.    Undang-undang yang dikeluarkan pemerintah mempengaruhi kebiasaan masyarakat. 
Buku Ehrlich yang terkenal antara lain berjudul Grundlegung der Soziologie des Rechts.

2.    Roscoe Pound (1870-1964)
Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum  adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi hukum sebagai berikut:
a.    Kepentingan umum (public interest)
1.        Kepentingan Negara sebagai badan hukum
2.        Kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat
b.    Kepentingan masyarakat
1.        Kepentingan kedamaian dan ketertiban
2.        Perlindungan lembaga-lembaga social
3.        Pencegahan kemerosotan akhlak
4.        Pencegahan pelanggaran hak
5.        Kesejahteraan sosial
c.    Kepentingan pribadi (private interest)
1.        Kepentingan individu
2.        Kepentingan keluarga
3.        Kepentingan hak milik.
Dengan demikian Roscoe Pound berpendapat bahwa Hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan social, sehingga Hukum sebagai suatu proses (law in action). 
Aliran yang dianut Pound berangkat dari pemikiran tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja .
.  

D. Aliran pragmatical legal realism
Disetujui oleh Jerome Frank, yang menurutnya hukum tidak disamakan dengan aturan yang tetap.
Ada banyak genus penamaan Pragmatic Legal Realism, oleh sebagian Mazhab tidak mau menyebutnya “Aliran Realism Hukum” tetapi lebih tepat untuk mengatakan “Gerakan” realsme hukum (Legal Realism Movement). Nama yang pernah diajukan untuk realisme hukum ini diantaranya; Functional Jurisprudence, Experimental Jurisprudence, Legal Pragmatism, Legal Observationism, Legal Actualism, Legal Modesty, Legal Discriptionism, Scientific Jurisprudence, Constructive Scepticism. Pelopor pertama Realisme Hukum pertama kali berkembang di Amerika Serikat yang dipopulerkan oleh Karl Llewellyn, Jerome Frank, Oliver Wendel Holmes, Bingham. Perkembangan selanjutnya juga dianut antara lain oleh Underhiil Moore, Herman Oliphant, Charles E. Clark, Fellix Cohen, Thomas R. Powell, Arthur R. Combin, Walter W. Cook, Max Radin, Hessel E. Yntema, Joseph Hutcheson, Samuel Klaus.
Sebagaimana disinggung di atas bahwa Realisme Hukum bukanlah aliran melainkan gerakan dalam cara berpikir tentang hukum sebagaimana yang ditegaskan oleh William James “Pragmatism is a new name for some old ways of thinking. Its outlook is emphatically positivist”. Karl Llewellyn (Thomas W. Bechtler: 1978) mempertegas bahwa realisme hukum merupakan “Gerakan”
Mengapa realisme hukum dari beberapa mazhab lebih senang menganggapnya sebagi sebuah “Gerakan” ? karena memang dari segi substansi pemikiran gerakan ini memiliki sikap kritis terhadap berbagai bentuk pelayanan oleh institusi hukum. Sebagaimana aliran ini konsisten dengan pendapatnya terhadap fakta-fakta yang diperlukan, bukanlah kata-kata dan sekedar bahasa saja. Bukan pernyataan normatif, prinsip, atau aturan yang diperlukan, melainkan sikap tindak (behavior). Merupakan suatu sikap kekanak-kanakan (childish tendency) jika kita berharap adanya hukum yang sudah pasti dan tidak pernah salah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Tanggung jawab negara melindungi mahasiswa indonesia di luar negeri di tengah pandemi covid 19

Resume hukum perorangan dan keluarga